Ton Abdillah Has Sudah semingguan ini saya memendam sesal dan gemes dengan pernyataan pasangan Capres-Cawapres Prabowo dan Sandiaga Uno, yan...
Ton Abdillah Has |
Sudah semingguan ini saya memendam sesal dan gemes dengan pernyataan pasangan Capres-Cawapres Prabowo dan Sandiaga Uno, yang diungkapkan dalam kampanye dan debat resmi kandidat. Pasalnya, kritik keduanya pada program kartu sakti Jokowi, yang dinilai rumit dan birokratis. Bahkan dengan simplistic, Sandi sesumbar akan menggabungkannya dalam satu kartu, Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kritik disertai cemoohan terhadap kartu sakti Jokowi ini nampaknya juga diikuti para pendukungnya di jagad maya, namun sayangnya tanpa penjelasan dan solusi memadai. Tulisan ini dimaksudkan untuk mengupas sandaran ideologis konseptualnya, terlepas dari masih banyaknya persoalan di level teknikalitas operasional programnya yang memang masih memerlukan perbaikan.
Tiga kartu sakti jkw - sebenarnya kartu negara, cuma khalayak termasuk oposisi menyebutnya kartu sakti jkw - adalah Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS) dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS). Ketiga kartu tersebut mengacu pada UU no 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.
Tiga kartu ini juga tercantum dalam poin ke-lima Nawacita Jokowi-JK, yaitu berkomitmen meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Setelah dilaunching pada akhir 2014, sesaat setelah Jokowi dilantik, pendistribusian KIS ditargetkan sebanyak 88,2 juta, KIP sebanyak 17,9 juta dan KKS 15,5 juta.
KIP adalah dana bantuan belajar bagi siswa kurang mampu dan siswa berprestasi yang dikelola Kementerian Pendidikan dan Kementerian Agama, besarannya bervariasi sesuai jenjang, pendidikan dasar hingga menengah atas.
KIS dikelola Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, dianggarkan melalui Kementerian Kesehatan dimana pemerintah membayarkan premi bulanan sebesar 22 ribu rupiah untuk lebih dari 92 juta rakyat tak mampu. Sedangkan KKS yang dikelola Kementerian Sosial - kini berwujud Program Keluarga Harapan (PKH) - pada 2018 menjangkau lebih dari 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (PKM).
*Implementasi Negara Kesejahteraan*
Negara kesejahteraan (walfare state) adalah konsep campuran dari demokrasi ekonomi dan kapitalisme, sebuah konsep pemerintahan yang memberikan jaminan kesejahteraan ekonomi dan sosial pada warga negaranya. Karena jika hanya mengacu pada konsep dasar kapitalisme yang mengagungkan persaingan bebas, maka warga negara yang tidak mampu bersaing akan tersisih dari pengayoman negara.
Jaminan sosial ini meliputi tiga elemen paling mendasar, yaitu kesehatan, pendidikan dan tunjangan hidup per-orangan. Sumber dananya berasal dari pajak penghasilan, pajak progresif, sebagai bentuk redistribusi kesejahteraan dari kelompok warga yang mampu kepada warga yang tidak mampu. Konsep welfare state ini banyak digunakan di negara-negara Skandinavia dan Britania Raya. Di beberapa negara pengguna sistem ini, pengangguran juga menerima tunjangan sosial.
Program jaminan sosial sebenarnya bukan lah hal baru di Indonesia, karena juga dijalankan pada pemerintahan terdahulu, terutama dalam bentuk anggaran penanggulangan kerawanan sosial (insidensial). Namun secara tersistem, program jaminan sosial ini baru dicanangkan di penghujung pemerintahan SBY, dan disempurnakan dan dijalankan secara massif sejak pemerintahan Jokowi.
Sebagai mantan kepala daerah yang sadar betul dengan kondisi birokrasi pemerintahan yang koruptif, digunakannya data BPS sebagai basis pendataan penerima dana jaminan sosial serta implementasi nya yang non-tunai merupakan inovasi revolusioner. Melalui pembagian kartu diharapkan penerimanya tepat sasaran, penggunaannya bisa dikontrol, serta pelayanannya tidak berbelit dan mal-administrasi seperti masa lalu.
Komitmen Jokowi ini membuat Indonesia kini merupakan salah satu negara dengan sistem jaminan sosial paling besar di dunia secara kuantitatif, meskipun secara kualitas membutuhkan banyak perbaikan. Sehingga sungguh wajar, jika kartu sakti Jokowi itu bisa bertambah lagi dengan Kartu Sembako Murah, KIP hingga Kuliah, dan Kartu Pra-Kerja, karena republik ini bukan lah negara kapitalis, dari dulu, kini, juga esok.
Penulis: Ton Abdillah Has Koordinator Koalisi Relawan Mereka Indonesia, Ketua Umum Angkatan Muda MDI
Tidak ada komentar